Oleh: Syam
"Masa Karena
Laptop Kamu Tidak Bisa Berkarya"
(Prof. Dr. H. Moh Ali Aziz, M.Ag)
Berjalan menyusuri kampus, tak berpikir sedang becek atau tidak.
Langkah demi langkah. “Assalamualaikum,” kataku pada kelas retorika. “Waalaikumsalam,”
jawab semua orang pada ruangan itu. Saya pun langsung memasuki kelas dan
bersalaman dengan Prof. Ali Aziz, Dosen dan Inspirator Besar dalam hidupku.
Beliau pun meneruskan penjelasannya.
Saya langsung duduk pada barisan paling
depan di sebelah kiri Baiti. Saya pun bingung. Saya lihat ke
kanan-kiri-belakang, teman-teman pun sudah menulis beberapa bait catatan
penting di atas kertas yang mereka miliki. “Ya Allah beginilah, kalau datang
telat, beginilah ketinggalan mendapatkan ilmu,” celetuk hatiku.
Tiba-tiba dosen yang bercelanan hitam itu
menyampaikan bahwa ada buku yang menarik tentang dahsyatnya terima kasih.
Beliau pun berdiri dari duduknya dan menulis suatu judul buku, “John Kralik,
365 Thank You, The Year The Simple Act of Daily Gratitude Changed My Life” di
papan tulis putih bagian kanan dengan Spidol Broadmaker yang berwarna
hitam. Judul buku tersebut dibacanya dengan Pronounciation English
yang spektakuler. Beliau pun menyentuh dahinya secara perlahan dan berjalan
sambil menunjukkan bukunya dengan membuka lembaran demi lembaran. “Setahun
ada berapa?,” tanyanya. “365 hari,” jawab salah seorang temanku.
berarti, menurutnya, setiap hari selalu menulis ucapan terima kasih.
Beliau menerjemahkan judul buku Bahasa
Inggris yang tertulis di papan putih itu sambil menunjuk kalimat per kalimat
dengan Spidol Broadmaker yang dipegang oleh tangan kanannya. Beliau pun
berjalan langkah demi langkah sambil memegang buku dengan tangan kirinya.
Dijelaskan bahwa penulis buku itu sukses disebabkan setap hari senantiasa
menulis “terima kasih.” Didekatilah Fajriyah, temanku yang sangat luar biasa,
serta disuruhlah ia untuk membaca judul buku Bahasa Inggris itu. “Apa judulnya
ini, kamu baca!!!,” sarannya kepada Fajriyah. Ia pun membacanya dengan
suara serak-serak basah. Ditegurlah ia untuk melantunkan suaranya dengan keras
seperti petir menyapa bumi. Tak hanya itu, ia pun dibimbing dengan lafal Bahasa
Inggris yang luar biasa. Aku bingung, itu suara aslinya atau hanya takut karena
di depannya ada Prof Ali.
“Grek,” bunyi desiran pintu. Prof
Ali berhenti menjelaskan isi bukunya itu dan melihat secara refleks ke pintu
tersebut. Ternyata ada Hakim, Handika, Faizin Hisyam dan Irfan yang datang
melewati batas waktu yang telah kita sepakati bersama. “Kenapa terlambat?”
tanyanya kepada mereka. Mereka pun masuk dengan bersalaman secara bergiliran
kepada dosen yang murah senyum itu. “baca tasbih dalam rukuk dulu 150 kali,
dan baca tasbih dalam sujud 300 kali,” perintahnya kepada lima mahasiswa
itu. Faizin pun langsung menuju ke arah sebelah utara di pojok depan dekat
colokan listrik. Di sebelah selatannya ada Hisyam dan Irfan. Di depan mereka
bertiga ada Hakim yang memimpin rukuk dan sujud. Walau sebenarnya itu bukan shalat
benaran. Tak ketinggalan juga Handika yang berada di sebelah utara Hakim, tepat
di balakangnya Faizin, Hisyam dan Irfan. Sekitar 10 menit kemudian, mereka
selesai dan langsung mencari tempat duduk.
Dijelaskan bahwa John Kralik menulis
surat kepada dokter yang merawatnya sekian tahun yang lalu. Dalam suratnya ia
menyatakan, “Andaikan
tidak Engkau tangani penyakit saya, maka saya sudah tidak bisa menulis surat
ini. Terima kasih.” “Kira-kira dokternya senang gak?,” tanya Prof Ali kepada
mahasiswa.” “Senang,” jawab teman-teman dengan sontak. Dokternya itu
membalas dengan surat yang jauh lebih bagus dari sebelumnya itu. Ia pun menulis
dalam suratnya, “Ini adalah pasien pertama kali sepanjang karir saya yang memberikan
apresiasi seperti ini.” “Dokternya tadi kira-kira senang gak? Dapet ucapan terima kasih
tadi?,” tanyanya kepada Zein, salah seorang teman baikku. Beliau pun
menjelaskan sambil mundur ke belakang menuju meja dan kursi dosen. Menurutnya, jika
dokternya itu senang, berarti jika kita nulis sebenarnya untuk menyenangkan
orang lain.
Maju sedikit demi sedikit sambil
meletakkan kedua ibu jarinya pada saku celana hitam yang dipakainya. Berhenti
sejenak sambil merenung. “Saya berprinsip bahwa senyum manusia adalah senyum
Tuhan,” katanya sambil menatap seluruh mahasiswa. Diputarlah badannya ke
arah kanan dan mendekati Nitra, “Kamu sakit apa?.” “Sakit lambung
Prof,” jawabnya sambil menatap dengan suara yang gemetar. Ditanya juga apa
Nitra sudah ke dokter, ia pun menjawab bahwa telah mengunjungin untuk
diperiksa. Senyum demi senyuman, menurutnya, penyakit lambung tidak bisa
disembuhkan seumur hidup. “Hanya saja bisa dicegah,” jelasnya sambil
melambaikan tangannya seakan-akan seperti memotong sesuatu.
Melangkahkan kaki dengan pelan-pelan ke
kanan, sambil bercerita bahwa beberapa jam sebelumnya beliau periksa gigi di
salah satu rumah sakit di Surabaya. ketika gigi dicabut dan darahnya keluar
oleh dokter katholik perempuan. Ia pun bilang, “Bapak stress.” “Kok
tau bu,” jawab Prof Ali. “darah kalau orang stress rata-rata seperti
ini, saya itu nangani pasien sudah berpuluh-puluh tahun,” kata dokter tadi
padanya. Prof Ali pun berjalan ke belakang dengan pandangannya yang masih
tertuju kepada mahasiswa.
Pada saat itu beliau duduk dengan
menghadapkan wajahnya agak miring ke atas. Dikatakan kepada dokternya tadi, “Sebentar
dok saya mau menenangkan pikiran.” Berbisiklah di hatinya bahwa beliau
adalah trainer yang sering mengajari orang tawakkal, sedangkan beliau
sendiri belum bisa melakukannya. Membolak-balikkan tubuhnya dan menghadap ke
kiri serta dikatakan bahwa sejak kecil beliau memang takut suntik apalagi
ketika dicabut giginya.
“Ya
Allah, gak papa dicabut. Asalkan ketika saya memenjamkan mata. Engkau datangkan
rasulmu untuk memandang wajahku,” tirunya sambil meletakkan kedua tangannya
di pinggang bagian belakang. Selesai membaca doa itu giginya pun dicabut. “Gak
papa dicabut, saya pasrah kepada-Mu,” tambah doanya. Anehnya, ketika
darahnya keluar lagi. Sang dokter pun berkata bahwa darahnya ini bukan darahnya
orang stress. Beliau pun menyimpulkan bahwa sedikit saja kesedihan itu dapat
mempengaruhi darah kita.
“Tidak ada kesedihan yang tidak
berpengaruh pada kehidupan,” jelasnya sambil berjalan ke depan dengan tetap
meletakkan kedua tangannya di pinggang bagian belakang. Dipikirkan juga bahwa
tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk darahnya orang yang sedihnya
bertahun-tahun. Yaitu orang yang memiliki rasa benci kepada orang
bertahun-tahun.
“Ulfian, dokternya tadi senang?,”
tanyanya kepada ulfian. “Senang,” jawab ulfian dengan suara yang tidak
terlalu jelas. Diingatkan kembali kepada mahasiswa bahwa, tadi beliau menulis “Senyum manusia
adalah senyum Tuhan.” Kembali ditanya kepada mahasiswa tentang siapa yang akan tersenyum
pertama kali ketika ada orang yang menyenangkan manusia. “Allah,” sontak
manusia secara berbarengan.
Menurutnya, mengapa Tuhan mesti tersenyum
juga. Sebab ada orang yang menghargai dan mengapresiasi orang. Allah senang
kepada orang yang mengucapkan terima kasih kepada si dokter tadi, dan dokternya
senang. Allah pun mengatakan, “Ini ada orang yang menyenangkan orang,
saatnya aku harus menyenangkan dia.” Prof Ali pun kembali melanjutkan, bahwa
Allah akan menyuruh kepada para malaikat untuk membukakan pintu-pintu rezeki
yang masih tertutup, yang disediakan kepada orang yang telah membahagiakan
orang lain.
Beliau menjelaskan bahwa surat itu salah
satu yang ditulis dari 365 surat sebanyak hari dalam setahun. Beliau pun
berjalan mendekati papan putih dan menulis kalimat “1. Dokter ” dengan
tetap memegang buku melalui tangan kirinya. Maju langkah demi langkah sambil
memasukkan Spidol Broadmaker ke saku, untuk menggaruk lengan kiri bagian
atas yang sedang gatal.
Dilanjutkanlah cerita dalam buku
tersebut. Penulis buku itu juga memberikan ucapan terima kasih kepada teman
lomba larinya. Sebelum melanjutkan apa isi ucapan terima kasih sang penulis
buku itu kepada teman larinya, beliau mendekati Diana, dan bertanya, “teman
lomba lari dian?.” “Jalan sehat Prof,” jawab Diana sambil senyum
dengan menghadapkan wajahnya ke sebelah kiri. “Kenapa kamu kok gak lari,”
Diana ditanya. “Kegemukan,” jawabnya sambil menutupi wajah dengan
tangannya. Ketika semua mahasiswa gelak tawa mendengar jawabannya itu, ia masih
meneruskan tawanya sendiri.
Beliau pun meneruskan berceritanya.
Ketika lomba lari temannya itu menunjukkan gubernur kepadanya. Temannya itu
mengajakak John Kralik untuk mendekati sang gubernur tadi. John menulis surat
kepada temannya itu, “Terima kasih kamu itu mau lari sama saya. Terima kasih andaikan
saya tidak berjumpa dengan gubernur. Itu mungkin selamanya saya tidak tau kalau
dia itu gubernur. Terima kasih luar biasa.” Prof Ali pun menundukkan kepala dan mengangakatnya
serta mengatakan bahwa sesederhannya itu John menyatakan rasa terima kasihnya.
Dengan bergegas beliau menuju ke papan putih dan melingkari kata “Gratitude”
dengan Spidol Broadmaker hitam. Yang berarti ungkapan terima kasih.
“”Tok tok,” suara ketukan pintu.
Prof Ali pun tertuju ke pintu kelas yang berada di di pojok bagian timur kelas. Ternyata ada
temanku, Rico, yang datang terlambat. Sebelum duduk, disuruhlah ia untuk
membaca tasbih dalam rukuk 150 kali dan tasbih 300 dalam sujud. Ia menuju ke
arah utara dekat tembok, tepat di samping kanannya meja dan kursi dosen, untuk
melakukan rukuk dan sujud.
Menurut Prof Ali, Allah memiliki Sifat “Syakur,” kemudian ditulisnya dengan huruf Arab
tanpa syakal pada Papan Putih dengan tinta biru. Dijelaskan juga bahwa makna
kata “Syakur” adalah A Most Apreciate, Allah Paling Menghargai.
Prof Ali pun bertanya kepad Trisno
tentang berapa umurnya. Trisno menjawab bahwa umurnya adalah 15 tahun, lalu
menjadi 17 thaun, terakhir umurnya adalah 20 tahun. “Orang lupa umurnya
sendiri,” kata Prof Ali. Teman-teman pun tertawa berbahak-bahak. Ditanya
juga tentang berapa masa kecilnya, ia pun menjawab 5 tahun. Berarti ia bisa
menulis selama 15 tahun. “Mestinya kamu harus menulis 365 x 15,” katanya
sambil menulis di papan putih. Ditanya kepada mahasiswa tentang berapa hasil
dari perkalian tersebut.
Beliau pun menunjuk Samroh untuk
menghitung berapa hasilnya tersebut. Teman sekelasku itu pun bingung dan
mencari handphone yang masih berada di dalam tasnya. Ia menghitung dan
memberitahu kepada beliau tentang hasilnya yaitu 5275 kali. “Saya yakin
tris, kalau kamu sudah betul-betul menulis terima kasih kepada 5275 orang,
hidupmu lebih sukses dari pada hari ini,” ungkapnya sambil berjalan ke arah
di mana kita duduk. Berarti kalian tidak membuat senyum 5275 orang, cukuplah
untuk membuka seluruh pintu langit. Ditanya kepad Tris, siapa saja yang telah
ia beri ungkapan rasa terima kasih secara khusus. “Surat atau email yang
khusus untuk mengucapkan terima kasih,” katanya. Ia pun menjawab adalah
kedua orang tuanya. Jadi ia telah menus 2 dari jumlah 5275 ungkapan terima
kasih yang masih tersisa itu.
“Ia (John) telah menulis Three hundred
and sixty five Thank Yous and then Chose my life, merubah hidup saya,” katanya dengan memasukkan jari kanan
ke dalam sakunya dan merenggangkan tangan kanannya sebagai isyarat memberi
semangat kepada mahasiswa. Menurutnya, pada era sekarang ini tidak perlu repot
untuk menyampaikan ungkapan terima kasih. SMS saja sudah cukup untuk mengungkapkanya
kepada orang lain yang telah berjasa kepada diri kita. Hanya saja perlu disusun
kata-kata yang bagus.
“Inilah bagian dari hidup saya,”
ungkapnya dengan wajah senyum. Beliau ke Iran tiga tahun, karena jasa orang yang
disebabkan beliau sering mengucapkan terima kasih. “Selamat pagi pak, Saya
senang sekali bisa bertemu bapak. Bapak orang hebat,” katanya kepada orang
tersebut. Tahun depannya lagi beliau diundang kembali. “Tanpa Bapak saya
tidak mungkin menginjakkan kaki ke Iran. Tanpa jasa bapak, saya tidak mungkin
ke kota suci Qum, Isfahan, Basrah, terima kasih Pak,” tulis Prof Ali untuk
kedua kalinya kepad orang itu. Akhirnya, beliau diundang untuk ketiga kalinya.
Beliau pun juga ke Taiwan berkat jasa bu
Sri Setiawati. Setelah kembali ke tanah Air, beliau menulis surat, “Saya sudah lama
ingin ke Taiwan. Andaikan tanpa undangan ibu saya tidak mungkin saya kesana.
Atau kesana tanpa Istri. Sebab satu-satunya yang mengundang saya dengan istri
adalah ibu. Terima kasih. Saya doakan. Salam untuk suami. Dan salam sukses
untuk ananda semuanya.” Beliau juga menulis satu persatu nama-nama anak-anaknya. Akhirnya
mengundang lagi hingga tiga kali. Beberapa hari sebelumnya, ia datang ke
Surabaya tepatnya di Hotel Empire. Beliau di telpon oleh Ibu yang telah berjasa
mengundangnya ke negara Taiwan itu, dan beliau pun mendatanginya di Hotel yang
berada di daerah Blauran itu. Setelah ketemu, ia mengatakan kepada Prof. Ali, “Saya
senang sekali yang kemaren. Pokoknya kalau Idul Adha harus bapak. Kalau ndak
bapak. Lebih baik tidak shala Idul Adha,” ungkap Ibu Sri kepadanya. “Sekali
lagi Thank You changes your life,” katanya dengan mengangkat tangan kirinya
sebagai isyarat mempertegas ucapannya itu.
Beberapa menit kemudian, Beliau bertanya
kepada Azka, salah seorang teman baikku, kepada siapa saja ia telah menulis
ucapan terima kasih. Ia menjawab bahwa dirinya telah menyampaikankannya kepada
empat orang, termasuk kedua orang tuanya. Prof Ali pun beranjak ke papan tulis
dan mengatakan, “berarti kamu sudah minus 4.” Beliau yakin kepada Azka,
jika ia telah mengucapkan terima kasih sebanyak 5275, ia tidak akan kuliah di
dalam negeri. Guru Besar Ilmu Dakwah itu menambahkan bahwa, jika hati orang sudah
digerakkan Allah, ia bisa melakukan apa saja. “Termasuk mengundang kamu
dengan gaji termahal sekalipun,” katanya.
“Coba kim Hakim, kamu tulis,
lain syakartu la azidannakum, walainkafartum inna ‘adzabi lasyadid,”
sarannya kepada Hakim. Ia pun maju untuk menulisnya di Papan putih. Prof Ali
pun memperingatkannya untuk segera menulis, mengapa masih mencari ayat di handphone-nya.
Ia pun menjawab agar tidak salah dalam menulisnya. Ia pun mengambil penghapus
untuk menghapus catatan-catatan Prof Ali yang berada di sebalah kanan. Padahal
di sebelah kirinya masih kosong. Beliau pun menegurnya untuk tidak menghapus.
Sebagian teman-teman pun menyarakannya untuk menulis di tembok agar leluasa
menulis dan tidak menghapus tulisan-tulisan yang masih penting untuk dibahas.
Sekitar 7 menit 31 detik, ia mulai nulis ayat tersebut walau hanya dua huruf,
yaitu laf dan alif saja. Agar tidak lama, beliau pun menyuruhnya
untuk berhenti menulis.
“Jadi la in syakartu la azidannakum, jadi
kalau kamu pandai berterima kasih, maka Allah akan memberi balasan besar
kepadamu,” jelasnya kepada mahasiswa. Beliau yakin
bahwa belum pernah ada orang yang menafsiri la in syakartu la azidannakum
seperti ini. Tidak ada orang yang menafsiri ayat ini sedetail ini. Beliau pun
menuju ke papan putih bagian kiri dan menulis ayat la in syakartu la
azidannakum dengan huruf arab tanpa syakal. Menurutnya ayat itu setara
dengan makna “gratitude
adalah changes my life.” Allah akan berkata, “If you always say thank you, I will change your lifes.”
Ketika ada salah seorang temanku yang
menunjukkan kelelahan tangannya, Prof Ali pun menyuruh kita untuk istirahat
sejenak. Selain itu juga ada Azka yang mencetuk-cetukkan tangannya yang diawali
dari jari telunjuk, jari tengah, jari manis, jari kelingking dan yang terakhir
ibu jari.
Beliau pun berjalan setapak demi setapak
dan bertanya kepada kita, doa apa di dalam shalat yang mencerminkan kita untuk
menjadi pribadi berterima kasih. Melihat teman-teman termenung, saya pun
menjawab alhamdulillahi rabbil ‘alamin, pada surat al-Fatihah yang
selalu kita baca setelah doa iftitah pada takbiratul ihram. Beliau pun
membenarkan atas jawaban saya itu. “Alhamdulillah
diletakkan di awal. Itu artinya kita supaya menjadi pribadi yang baik,”
ungkapnya sambil menunjuk melalu tangan kanannya dengan Spidol Broadmaker
sebagai isyarat untuk mempertegas apa yang disampaikan. Menurutnya, istri akan
bahagia jika memiliki suami yang berperilaku hamdalah.
“Salah satu moto kebanyakan orang
Indonesia adalah pelit penghargaan,” jelasnya sambil memegang wajah bagian
kirinya dengan tangan kiri serta memasukkan ibu jari pada tangan kanan ke dalam
saku celanannya. Beliau pun menceritakan bahwa dulu hidup di
lingkungan santri, yang mengajar di SMA Kristen kupang. Lalu mengajar di SMA
PGRI yang terkenal dengan kenal]kalan siswa-siswinya. Sudah menjadi kebiasan
jika ada anak wanita yang ditemani oleh siswa pria banyak dan hal-hal amoral
lainnya. Tidak ada guru yang mampu bertahan mungkin hanya setahun. Sedangkan
Prof Ali mampu bertahan hingga 7 tahun lamanya. Hal itu lah yang menjadikan
beliau menjadi guru Bahasa Inggris yang aturannya lulusan IAIN (UIN SA
sekarang) tidak boleh mengajar.
Beliau pun curhat kepada mahasiswa,
ketika ada pemeriksaan dari Diknas terkait sumber daya guru yang ngajar di SMA
PGRI. Beliau selalu ditanya dan ditegur mengenai lulusan IAIN yang mengajar
Bahasa Inggris. Dijawablah kepada diknas itu, “Karena yang lulusan IKIP
jurusan Bahasa Inggris rata-rata 3 bulan tidak kuat,” ungkapnya.
Beliau pun ditanya juga mengapa mampu
bertahan di sekolah yang muridnya nakal itu?. “Kalau dari IKIP kan jurusan
Bahasa Inggris pak, jadi sudah pinter pak, anak-anak gak kuat pak. Kalau dari IAIN
kan bahasa Inggrisnya seperti ini pak. jadi cocok dengan anak-anak,”
jelasnya sambil membayangkan ketika memberikan jawaban pada bapak dari diknas
yang bertanya kepadanya itu.
“Orang semakin santri, semakin tidak
apresiatif, semakin tidak menghargai orang serta semakin tidak berterima kasih,”
katanya sambil berjalan dengan pelan-pelan diiringi dengan senyum manis. Beliau
merasa ungkapannya itu bisa jadi salah serta berharap semoga saja kebiasaan
buruk tidak menghargai orang itu berubah.
Tak lama kemudian, di samping mengajar di
SMA Kristen, beliau juga menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel (UINSA sekarang)
yang ditugasi mengikuti pembelajaran Bahasa Ingrris selama tiga bulan di
Jakarta. Di SMA Kristen ada upacara
pemberangkatan beliau untuk ke Jakarta itu. Sedangkan di IAIN, tidak ada satu
pun yang bertanya tentang ke Jakarta tersebut. Menurutnya sangat jelas, di
Lingkungan santri ini tak memberi apresiasi sedikit pun, sedangkan di SMA Kristen
itu malah memberinya penghormatan pemberangkatan. Luar biasa. “Kamu adalah
anak-anak saya, harus merubah kesimpulan ini,” sarannya sambil kembali ke
kursi dosen dengan diiringi senyum manis.
Disebabkan
telah menjadi Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, beliau pun memundurkan
diri dari SMA PGRI. “Untuk melepas saya. Tau gak? Saya dibelikan cincin. Dia
tidak ngerti kalau cincin itu haram.” Jelasnya sambil memegang jari manis
pada tangan kirinya. Tak hanya itu,
diajaklah ke Tunjungan Plaza lantai 10. Mereka merasa bahwa beliau sudah ikut
membesarkan sekolahnya. Merekah itulah selalu memapresiasi jasa-jasa orang
lain. Subhanallah. Jadi menurutnya, Alhamdulillah itu adalah pesan Allah kepada
manusia untuk menjadi pribadi yang pandai berterima kasih.
Kuliah pun diakhiri dengan berfoto satu
persatu dengan beliau. Subhanallah. Allahu Akbar. Semoga Allah SWT senantiasa
menolong Prof Ali dalam segala hal. Amin Ya Rob.