Oleh: Syam
Sumber Foto: Merdeka.Com
“Ting, ting, ting,” bunyi handphone
Prof Ali Aziz. Bapak tujuh anak itu pun mengangkatnya yang berada di atas kursi
di depannya. “Halo, iya-iya ustadz, lantai dua gedung A, kelas D1.211,”
jawabnya pada telpon itu. Tak sampai lima menit, dosen yang sering bersepatu
ala militer itu menyuruh saya untuk menjemput Bapak N. Faqih Syarif di tangga.
Tanpa membuang waktu, saya pun langsung melangkahkan kaki untuk ke luar
ruangan.
Saya mondar-mandir, tanya sana-sini.
Dari mahasiswa, karyawan hingga dosen pun saya tanyai. “Maaf mas, saya tidak
tau siapa pak Faqih itu” jawab salah satu dari mereka. Sebagian juga
mengatakan, “Maaf mas, beliau tidak keliatan ini, kemana ya.” “ Mungkin di
kantor dosen mas ya,” terang salah satu karyawan. “Adddduh, dimana beliau ini.
Jangan-jangan beliau kesasar,” bisik hatiku.
Tak tau dimana keberadaanya, saya
pun bingung. “Mungkin beliau sudah masuk ke kelas kalek ya” kata hati kecilku. Saya
beranjak ke kelas. “Assalamualaikum” kataku sambil memasuki ruangan. “Waalaikum
salam” kata semua yang ada di ruangan. Ternyata, dugaan saya benar. Pak faqih
sudah di kelas. Teman-teman pun menertawakan saya. Sebab pak Faqih yang dicari,
malah sudah datang. “Tapi tak apalah, ini takdir Allah untuk menguji keimanan
seorang Syam dalam menungu seorang motivator sukses, pak N. Faqih Syarif,
hehehe” bisik hatiku yang sambil senyum-senyum sendiri.
Ketika saya sudah memasuki ruangan,
saya bingung harus duduk dimana. Saya mencari tas, tidak ketemu. “ada dimana
tasku ya, wong tadi ada,” kataku kepada teman sekelasku. Ternyata ada salah
seorang temanku yang menunjukkan tasku, dan baiknya, ia mengambilkan tas
untukku, “Ini Sam, tasnya.” ‘Terima kasih ya,” Saya pun duduk di baris kedua paling
utara dengan mengahadap ke timur.
Beberapa menit berlalu, Prof Ali
menyuruh kita untuk pindah duduk ke barisan pertama. Agar, kita mendengar suara
yang jelas dan lebih semangat dari bapak Faqih. Tanpa banyak kata, kita pun
pindah ke kursi di depan kita. Begitu juga dengan saya.
Ketika saya mengambil buku dalam
tasku, tiba-tiba ada seorang pria yang datang dengan membawa tas hitam. Amir,
begutulah saya memanggilnya. Ia masuk dan menuju ke arah paling utara dekat
tembok. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia membuka tas, yang berisi laptop dan
memberikan laptop itu kepada bapak faqih. Di luar dugaan kita, walau diganti
laptop, LCD yang berada di atas atap itu tetaa saja tidak berfungsi.
Ketika teman baikku Hakim sedang
menekan tombol proyektor yang berada di atas atap dengan kayu yang panjangnya
sekita 2 meter, tidak bisa hidup. Maka saya berkata kepadanya, “Mas Hakim,
mungkin protektornya rusak ya. Atau saya ambil saja proyektor di akademik.” “Oh
iya cong, sampeyan ambil proyektor dan remot,” katanya dengan semangat yang
membara.
Langkah-demi langkah, saya keluar
ruangan, satu persatu-persatau, saya turunkan kaki melewati anak tangga.
“Assalamualaikum” kataku kepada karyawan yang sedang melaksanakan tugasnya di
ruang akademik. “Waalaikumsalam,” sontak mereka. Saya menghampiri wanita muda,
yang duduk di paling barat, mengahadap ke utara, sambil mengetik tugas
administrasi, “Maaf bu, saya mengganggu njenengan.” “Iya tidak apa-apa mas, ada
apa ini?” tuturnya dengan senyum. “Saya mau pinjam proyektor untuk ruangan
D1.211, sebab proyektor yang ada tidak bisa dioperasikan. Mungkin ada
kerusakan,” kataku sambil membungkukkan bahu. “Ya saya ambillkan dulu mas,”
ungkap wanita yang kira-kira berumur 40 tahunan itu.
Saya terkejut, bercampur keringat,
ketika karyawan yang memakai warna hijau itu mengatakan, “Sampeyan bawa KTM
mas.” “Tidak bu, saya lupa,” kataku dengan wajah memerah. “Kalau tidak bawa
KTM, ya tidak boleh pinjam mas,” katanya dengan tegas. “Oh gitu ya bu, terima
kasih bu,” ungkapku sambil mengucapkan salam dan keluar ruangan. Tanpa
kusangka, ada suara yang memanggilku, “mas, mas, mas.” “Apa benar ada suara
yang memanggil saya.” Lalu saya kembali ke ruangan yang berada di sebelah
selatan tangga itu. Ternyata benar, ibu yang tidak mengijinkan saya untuk
pinjam LCD itu. “Apa ibu yang memanggil saya tadi?,” Kataku dengan senyuman.
“Ia mas, sampeyan bawa saja sudah. Emang mata kuliah siapa sekarang,” katanya
dengan senyuman. “Sekarang mata kuliahnya Prof Ali,” jawabku. “oh gitu, ya udah
sampeyan bawa dulu, kalau sudah segera dikembalikan.” Kata ibu tadi itu.
“Terima kasih ibu, Assalamualaikum,” kataku, lalu ke luar ruangan yang ber-AC
itu. “Waalaikumsalam,” kata sebagian yang ada di ruangan itu.
Sambil membawa tas, yang berisi LCD
dan kabel. Tiba-tiba ada suara cowok yang menggelegar yang memanggil saya,
“Sam.” Saya kaget dan mencari sumber suara itu, dari arah mana ia muncul. Eh ternyata
suara itu keluar dari arah utara. Ternyata suara teman akrabku, Rahman,
mahasiswa semester 6 prodi Manajemen Dakwah.
Saya masuk kelas, dan memberikannya
kepada Hakim, teman sekelasku yang suaranya keras itu. “Ini mas,” kataku. Saya
pun langsung membantu mengelurkan LCD dan kabel dari tas yang berwarna hitam
itu. Tanpa membuang waktu, saya ambil kabel dan saya masukkan colokannya ke
tembok sebelah selatan dekat pintu timur. Saya ambil kursi di depanku dan saya
hadapkan ke sebelah timur. Saya letakkan LCD di atas kursi tersebut. Alhamdulillah, ternyata LCD sekarang sudah
menyala. Dengan bergegas, pak Faqih menerangkan kepada kita tentang HIT. Penyampainnya
lugas, mengena
“Olga Syahputra, saya bingung, kenapa kok dia
milih lagu hancur hatiku, hancur hatiku. Semakin ditayangkan ulang-ulang,
persis ditahun 2013, Olga pas sakit itu. Hati-hati dengan omongan anda,” katanya
dengan memegang spidol berwara biru.
“Ada seorang profesor, maunya ngasik motivasi
sama mahasiswanya,” jeda sebentar. Kemudian baliau lanjutkan, “Sambil
membagikan soal ujian, dia ngomong sama mahasiswanya. Kalian semua harus
serius, positif kan ya? Kalian semua harus serius, sambil dibagikan soalnya. Positif
apa ndak? Tapi kalimat setelah itu yang membikin trauma, selama lima tahun
terakhir ini. Tidak satu pun mahasiswa yang mengikuti mata kuliah saya,
Luuuulus. Diulang-ulang. Apa yang terjadi? Lima tahun gak ada yang lulus. Apa
lagi saya? Eh gak taunya setelah sepuluh menit. Mahasiswa yang datang
terlambat. Saya tidak menyuruh untuk datang terlambat loh ya? Saya baca tadi rata-ratasujud
sama syukur karena Prof Ali. Saya baca di tulisan kamu itu. Saya baca, dikira
tidak dibaca. Saya terima email kamu itu menjelang setelah Shubuh ya? Sam ya.
Ya ngirim. Saya sempat buka tadi,” ungkapnya sambil menggelengkan kepala.
“Dia datang setelah profesor itu
ngomong. Sorry Prof, saya datang terlambat, ia silahkan. Yang lain ngerjakan
kenak. Eh malah dia nyanyi-nyanyi. De, de, deeeeeee, deeeeee. “Hahahaha” kata
mahasiswa. Semua tidak lulus, justru yang lulus siapa? Yang terlambat. Bukan berarti
saya menyuruh terlambat. Karena ia ini tidak terkena oleh pikiran yang
negatif.”
Menit pun berlalu, agar kelas tidak
keliatan bosan. Beliau meminta mahasiswa, “Haloooo. Kalau saya bilang halo
jawabannya hay ya? Kalau saya bilang hay, maka jawabannya adalah halo.”
“Haloooo?” Kata pak faqih kepada
mahasiswa.
“Hay,” jawab mahasiswa dengan
menggaung.
“Halo-halo,” katanya kedua kalinya.
“Hay-hay,” jawab mahasiswa dengan
kompak.
Tapi apa yang terjadi, ketika pak
Faqih mengulang-ulang kata-kata itu, bukan malah membuat mahasiswa semakin rapi
menjawab, tapi malah semakin buyar. hahahaa
“Hay halo hay hay,” kata pak Faqih.
“Halo-(buyar),” jawab mahasiwa
dengan buyar.
“Selama empat tahun terakhir ini. Saya dikelilingi
oleh teman . Untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri swasta di berbagai kota dan
kabupten. Diminta untuk memberikan motivasi ujian nasional. Mereka-mereka yang
tidak lulus ujian nasional, bukan-bukan mereka-mereka yang tidak bisa, tapi
anak-anak ketika mengerjakan soal dia sudah nervous duluan. Maka saran saya
kepada mereka, kerjakanlah soal itu, kerjakan yang paling mudah dulu. Anda
baca. Kalau sulit, ditinggal dulu, kerjakan yang mudah. Setelah itu balik lagi.
Anda bisa bayangkan mengerjakan matematika, ngerjakan soal yang sulit itu.
Matek aku rek. Waktunya habis, dimatek-metak tadi itu kan?. Soalnya lima puluh,
dua puluh kali matek. Makanya hati-hati dengan pikiran negatif,” jelasnya kepada mahasiwa dengan
senyuman yang khas.
Beliau pun duduk sebentar, kemudian
berdiri, “Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, dimuliakan apa ndak?,” tanyanya
kepada mahasiswa. “Dimuliakan pak,” sontak mahasiswa. “Sudah dimuliakan dimanja
lagi. Dimasukkan Surga. Apa buktinya mulia? Apa buktinya ayo? Iyya. Malaikat
disuruh apa?,” tambahnya.
“Malaikat dan jin disiruh sujud,”
jawab baiti, teman sekelasku yang sangat aktif. “Pertanyaan saya, setan mau apa
ndak?, tanyanya lagi. “Tidak,” jawab mahasiswa dengan bersama-sama. “Kenapa
ndak mau? Ia karena merasa dirinya lebih tinggi. Karena kesombongannya lah yang
kemudian setan dikeluarkan dari surga. Sejak saat itulah setan itu dendam,
dengki, dongkol lagi. Ingat tiga sifat itu. 3 D apa?,” jelasnya sambil menulis
di papan.
“Seten itu memiliki sifat dendam,
dengki, dongkol. Maka kalau ada manusia memiliki sifat dendam, dengki, dongkol,
maka itu sifatnya setan. Pertanyaan saya. Ketika itu setan dendam, dengki,
dongkol. Bahasanya jowone mangkel. Dan dia berjanji akan menggoda manusia. Dan
dia berdoa sama Tuhan, sama Allah. Doanya dikabulkan apa tidak? Apa doanya? Ia
doanya minta dikasik umur panjang. Apa artinya, setan saja berdoa dikabulkan
oleh Allah. Maka jika ada manusia males berdoa, ngala-ngalai setan, ia kan? Loh
setan aja berdoa dikabulkan,” jelasnya. Pernyataan beliau yang penuh makna itu
pun membuat kita semangat untuk berdoa. Bahkan sebagian mahasiswa di kelas
menggeleng-gelengkan kepala.
“Sejak saat itu setan menggoda
manusia, dan setan itu tahu bangkan letak kekuatan manusia itu terletak di
antara dua telinga. Apa?,” tanya pak Faqih. “Pikiran,” kata salah satu temanku,
tapi saya lupa suara siapa itu.
“Ketika kita sering melakukan sesuatu, pasti
terjadi pertarungan antara pikiran positif dan pikiran negatif,” ujarnya di
duduk di kursi sambil menyentuh dagunya. “Anda hadir di saja loh pertarungan.
Anda mau berangkat kuliah dengan kondisi hujan yang kayak gini. Malah ngomong,
mudah-mudahan dosene gak teko,” sambil ketawa. “Hahaha,” tawa mahasiswa. “Sudah
tetap di sini saja. Sudah duduk di majelis ilmu saja, setan gak terima, lalu
diciptakan hawa ngantuk,” katanya dengan menunjuk-nunjuk tangannya sebagai
bagian dari bahasa tubuhnya. “Halo,” sapa Pak faqih pada mahasiswa. “Hay,”
jawab mahasiswa. “Ketika teman-temannya, ada yang ngantuk,” ungkapnya, sambil
menirukan ekspresi orang ngantuk.
“ Hati-hati bisikan setan itu, dan
bisikan setan itu ada dua. Ada dari golongan jin dan dari golongan manusia,”
ungkapnya sambilng menghitung dengan dua jari.
“Bagaimana cara mengetahui itu bisikan setan atau bisikan malaikat?,
ternyata Rasulullah sudah mengejarai. Saya tak terjemah bebas saja. Jika ada
dalam pikiran kalian sesuatu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan
dan menunda kebaikan, maka itu adalah bisikan setan. Ingat mendorong-dorong
keburukan dan menunda-nunda kabaikan berarati bisikan setan,” terangnya dengan
senyum manis. “Ada temannya yang lagi semangat datang, tepat waktu, kemudian
dia rajin ke perpustakaan, kamudian ada yang bilang, rajine rekkkk,” tirunya
dengan ketawa. “ini namanya bisikan setan, dan saya tidak mengatakan ini adalah
setan loh ya?,” menoleh ke kanan.
“Ketika ada temannya seriusn nyatat.
Ketika ada seminar dan training nyatat. Kuliah ae nyatat,” ungkap dengan
menirukan ekspresi orang yang syirikan sama orang. Hehehehe.
“Setan seringkali senang kepada
orang yang menggunakan kata “TAPI. Setelah kata tapi, pasti ada alasanan atau
dalil,” ungkapanya dengan menulis.
“Yang kedua adalah, “USIA. Bagi yang muda apa alasannya? Saya masih muda
pak. Yang tua alasannya.” “Saya sudah tua kok,” celetuk mahasiswa.
“Kalau dalil saya itu dipakek,
namanya tidak ada bocah yang bernama Gevira Fatimah. Umurnya enam Tahun,”
katanya dengan menunjukkan angka enam melalui tangannya. “Dia medapatkan rekor
muri sebagai penulis termuda di Indonesia. 6 tahun, bayangkan. Putrinya KH
Abdulah Gymnastyar,” terangnya. “Ya bisa aja pak, wong anak’e aa’ Gym, repot
juga kalau orang bilang gitu, Jangan melihat anaknya siapa. Iniloh, melihat si
kecil ini.” “Kalau dalil saya ini dipakek, maka tidak akan ada orang yang hafal
Qur’an pada umur 9 tahun. Dia mendapatkan gelar doktor honouris causa termuda
di dunia. Pernah dengar namanya Sayyid Husain Taba’tabai dari Iran. Pakai
alasan usiaa?” “Tidak,” jawab mahasiswa.
“Kalau dalil saya dipakai. Maka saya
tidak akan mempunyai seroang teman, yang kiai dari Magetan. Kawan saya di S3,
doktoral. Kalau laptopnya rusak, dia benggung. Usinya udah 63 tahun.
Kakek-kakek, kiai. Pakai alasan usia?,” jelasnya dengan wajah serius tapi
santai. Eh serius tapi santai. Apa bedanya ya. hehehehe
“Kalau saya di pakek, maka tidak
akan ada KFC. Kakek tua itu. Dia mempunyai hobby masak. Dan masakanya ditawari.
1008,” jelasnya kepada mahasiswa. Mahasiswa di kelas pun bertanya satu sama
lain, seperti siapa kakek tua itu, yang tak pernah mengenal putus asa itu. Ada
yang mengetahui kakek tua itu, dan ada pula yang belum bisa menjawab. Mungkin
karena gak pernah makan di KFC kalek ya. Iiiiih kasihan delloh.
“Ada lima hal, yang menghambat kita
untuk meraih sukses. Satu pikiran negatif, dua pakai alasan usia. Tiga ke se ha
tan. Kalau dalil saya dipakek, maka
Indonesia tidak akan pernah mempunyai presiden Gusdur,” ujarnya dengan duduk
dan sambil melirik ke Prof Ali. “Kalau dalil saya dipakek, maka Indonesia tidak
akan pernah mempunyai orang terkenal seperti pepeng. Dia sekrang mengalami
sakit, sel-sel saraf di tulang belangkangnya. Dia tidak apa-apa kecuali
berbaring. Apa kata pepeng, saya merasakan cinta kasih Allah, ketika seya
merasakan sakit seperti ini. Tidak boleh berhenti berkarya,” tambahnya.
Mahasiswa yang ada di kelas diam sejuta kata. Hanya mengangguk-nganggukkan
kepala semata. Tapi tidak tau, kita paham atau malah mengantuk, berlayar ke
pulau kapuk. hehehehe
“Yang ke empat adalah pakai alasan
latar belakang pendidikan. Saya gak mungkin sukses pak. Saya kan hanya s3, SD,
SMP, SMA. Kalau pakai alasan usia, saya tidak akan pernah mempunyai guru,
motivator terbaik Indoensia. Yang namanya ANDRI WONGSO. Gelarnya itu aneh.
ANDRI WONGSO, SD.TT.TBS. Gelar ini tidak pernah dikeluarkan oleh perguruan
tinggi negeri maupun swasta di dunia. Gelar ini saya dapatkan dari univesiats
kehidupan. SD.TT.TBS, Sekolah Dasar Tidak
Taman, Ternata Bisa Sukses,” sambil memandang wajah mahasiswa satu persatu.
“Yang kelima. Nasib. Ya nasib-nasib.
Percaya sama sulul, zodiak. Dan lain sebaginya itu,” ungkapnya dengan sedikit
santai. Setelah selesai menjelaskan penjara kemalasan ini, beliau berpesan, “Kalau
anda bisa menghancurkan 5 gembok ini. Anda menang. Anda di sini saja, kalau
pikiran tidak tenang, maka pelajaran tidak akan masuk.”
Diujung perkuliahan bersama Pak
Faqih, beliau menawarkan kepada kita, “Apa masih ada pertanyaan?,” tanyanya
dengan suara yang mendebarkan. “Ada pak, saya mau tanya,” kata salah
seorangtemanku. “Silahkan mas,” ungkap pak faqih kepada nya. “Saya mau tanya
pak, saya ini kan alumni Sekolah Perkapalan. Lalu saya kuliah di UIN SA ini.
Saya merasa bahwa, saya hanya memiliki ilmu keislaman yang sedikit. Saya selalu
berfikir begitu. Sedangkan teman-teman saya banyak yang alumni pesantren. Saya
minder pak. Bagaimana ini pak“ Kata hakim.
“Kalau anda kuliah di UIN, berarti
anda sudah meilki IQ yang noraml. Kalau IQ 90-100, itu namanya suah normal.
Anda masuk kuliah ini, berarti anda sudah normal. Ingat, kecerdasan itu tidak
hanya kecerdasan intelektual. Berarti anda sudah berpikir negatif, jangan
berpikir negatif jika ingin menjadi orang yang sukses. Berpikir negatif
merupkan penjara mental yang harus kamu hindari. Tak perlu minder lah. Hidup
kan masih belajar. Harus banyak belajar
tentang kehidupan ini,” jelasnya kepada kita.
Sekiat 5 menit kemudia, “Mohon maaf
pak, saya mau tanya. Saya memiliki buku karya bapak, mengapa kok covernya itu
terbalik apa. Di satu sisi benar, di satu sisi kok kebalik, apa makna
filosofisnya itu pak,“ tanyaku kepada alumni Fakultas Dakwah itu. “Iya saya
jawab,” katanya sambil menatap mata saya dengan penuh kemesraan. “Itu hanya
kreativitas saja. Itu kan dua buku tapi dijadikan satu buku. Beli satu buku,
dapet dua buku. Kamudian saya satukan. Namun rupanya penerbit tidak memahami
apa yang saya maksudkan,” tambahnya dengan wajah ceria.
“Ini loh buku itu yang dicetak
ulang, oleh penerbit Rosdakarya semearang, ini bagus sekarang cetakannya sam,”
katanya dengan menunjukkan bukunya kepada kita semua. Kita hanya diam seribu
bahasa yang diiringi dengan mengangngukan kepala saja, sebagai tanda kekaguman
yang mendalam.
Tepat jam 13.25 WIB, Pak Faqih pamit
kepada kita meninggalkan kelas, untuk beranjak ke Bromo, Probolinggo City
(kotaku yang sangat indah, dimana saya bersala) untuk memberikan trainer
disana. Sebelum keluar ia, berpesan kepada kita, “setiap Jum’at pagi ada,
teman-teman bisa silaturrahim ke ruamah saya, untuk, nanti kuliah di sana dah.
Yang penting kalian selalu semangat saja.”
Salam Sejuta Kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar