Oleh: Syam
“Panasanya terik matahari, banyaknya peralatan berat di UINSA, tak
boleh menjadi penyebab bagiku untuk datang terlambat,” begitulah kata suara
hatiku. Tangga demi tangga, langkah demi langkah menuju ruangan ber-AC, lantai
2 gedung A Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel (UINSA)
Surabaya.
“Prof, ada salam dari Pak Sentot Imam Wahyono,” kata saya pada Prof
Ali Aziz. “Pak Sentot siapa ya Sam?,” tanya Mantan Dekan FDK UINSA itu. “Beliau
dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya. Juga Menjadi Pengajar di Salah satu
Universitas Islam di Malaysia Prof,” kataku sambil menuju ke Kelas. Dosen yang
membawa Absensi mahasiswa itu pun berkata,”Saya lupa Sam.”
“Menariknya, artikel saya di blogspot dikomentari beliau Prof,” kataku
sambil duduk di lapis kedua. “Masa sih Sam?,” jawabnya menggeleng-gelengkan
kepala dengan diiringi senyuman manis. “Sebelumnya saya sudah kenal sama beliau
Prof, di Konferensi Internasional Keislaman, antara Indonesia-Malaysia di
Surabaya, beberapa waktu kemudian, saya inboxan dengan beliau” kataku sedang
mengambil buku Ilmu Pidato dalam tas. “Saya lupa Sam, coba hidupkanan lampu
Sam, kok gelap ini,” saran Penulis Buku Best Seller 60 Menit Terapi Shalat
Bahagia itu. “Semua orang pasti memiliki sifat lupa Prof, hanya Allah lah,
Tuhan yang tak pernah lupa,” bisik hatiku dengan tenang, lalu saya sambil
menghidupkan lampu.
Beberapa menit kemudian, bapak tujuh anak itu pun bertanya, “Sudah
tau Mas Hari, mahasiswa Ushuluddin ini sam?.” “Sudah Prof,” jawabku dengan
senyum manis. “Masa sih Sam?,” tambah dosen yang sering bersepatu ala militer
itu. “Dulu, tahun 2012, saya pernah ke Temboro Prof,” ceritaku sambil melirik
pada mas Hari. Konsultan Yayasan Pendidikan dan Sosial Khodijah itu pun
bertanya kembali, “Diajak pak Khozin, perpustakaan itu tah?.” “Tidak, diajak
mas Hari Langsung Prof,” jawabku dengan memegang kacamata. “Oh gitu ya Sam? Ya
sudah, saya pinjem bolpoinmu,” kata pria kelahiran Lamongan itu. Saya langsung
mengambil bolpoin dan menyerahkannya kepada Pemilik Rumah Jalan Siwalankerto
Tengah no. 66 Surabaya itu. “Ini Prof,” kataku sambil membungkukkan bahu,
sebagai tanda menghormatinya.
10 Menit berlalu, ada mahasiswi yang memasuki ruangan dengan senyum
manis, “Assalamualaikum,” katanya dengan wajah ceria. “Waalaikumsalam,” sontak
kita yang berada di ruangan ber-AC. Mahabbah, begitulah panggilan akrabnya. Sebelum
ia duduk, da’i internasional pun bertanya kepadanya, “Sudah sehat mahabbah?.”
Wanita yang baru sembuh dari sakit itu pun menjawab, “Alhamdulillah sampun Prof.”
“Ya alhamdulillah, pokoknya harus tetap semangat,” kata pengurus Dewan Syariah
Yayasan Nurul Hayat.
Pada awalnya yang berada di kelas hanya tiga orang, Saya, mas Hari dan
mbak Mahabbah. Penulis Buku “Ilmu Dakwah” itu pun bertanya, “Apa kalian tadi
shalat jamaah dzuhur di masjid?.” “Ia Prof,” sahutku dengan tegas. “Berarti
kalian mendengarkan ceramah ea?.” “Benar Prof,” kataku sambil tanda tangan di
Absensi mahasiswa. “Kalau begitu kalian sekarang, ceritakan apa yang disampaikan
oleh penceramah tadi. Tidak hanya itu, ceritakan juga suasana pada waktu itu,” kata
Trainer PTSB itu. “Ia prof,” sahut kita. Beberapa menit berlalu, saya pun
kaget, “Saya harus menulis apa ini, kok tiba-tiba pikiran saya blank seperti
ini ya? Tapi saya harus bisa ini. Kalau orang lain bisa, mengapa saya tidak
bisa ya.”
Tak terasa, jam sudah menunjukkan 12.25 WIB. Mahasiswa yang
bertubuh tinggi di kelas retorika datang. “Assalamualaikum,” katanya dengan
penuh semangat. “Waalamulaikum salam,” jawab kita di ruangan. Ia pun duduk di
sebelah kiriku. Mahasiswa yang biasa dipanggil dengan sebutan “Hakim” itu
bertanya kepadaku, “Disuruh buat apa sama epprof cong?.” “Beliau nyuruh kita
untuk menceritakan apa yang disampaikan oleh penceramah pada ceramah kultum
ba’da dzuhur tadi di masjid, begitu juga kita ceritakan bagaimana suasana
tersebut, sampeyan tadi jamaah di masjid ea cong?,” kataku dengan senyuman. “Ia
ecconng,” katanya dengan logat khas Madura. Pemuda yang memiliki suara keras
itu pun langsung mengambil buku dan bolpoin untuk menceritakan apa yang
penceramah sampaikan dan apa saja yang terjadi di masjid tadi.
Saya pun sibuk menulis apa yang terjadi di masjid tadi. Kata demi
kata, kalimat demi kelimat, tak membuatku bosan untuk menulis. Tiba-tiba, Ketua
Yayasan Pendidikan dan Sosial Kyai Ibrahim Surabaya itu menghampiri Mahabbah,
temanku yang baru saja sembuh dari sakit itu, “Mahabbah, kamu tadi shalat di
masjid ya?.” “Njeh Prof,” katanya dengan tersedu-sedu. “Ea sudah, kamu nulis
saja sudah,” kata Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris itu kepadanya.
Menit pun berlalu, “Assalamualikum,” kata Farid. “Waalaikumsalam,
eeeh jangan duduk dulu, sujud syukur dulu, baca subhanallah 100x, sebab saya
tidak marah sama kamu yang datang terlambat,” kata Dosen
Teladan Nasional tahun 2004 dan 2007 itu.
Pemuda berkaca mata itu pun langsung meletakkankan tasnya dan bersujud
mengahadap ke kiblat.
Tak lama
kemudian, Azka, mahasiswi bersepatu hijau itu datang juga. Ia pun mendapatkan
perintah sama seperti si Farid tadi. Ia pun dengan segera bersujud syukur
mengambil tempat di sebelah tengah. Beberapa menit berlalu, ia pun selesai dan
mencari kursi untuk duduk. “Silahkan duduk, Az mana fotocopyan tadi? Bagikan
satu lembar untuk dua mahasiswa,” kata Ketua Dewan Pengawas Syariah Bank
Jatim tahun 2011 sampai sekarang itu. Wanita murah senyum itu pun langsung memberikan
semua fotocopyan kepada Asesor Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi itu.
Dengan santai, saksi Ahli Mahkamah Konstitusi tentang UU Penodaan Agama yang
murah senyum itu, memberikan satu fotocopyan kepada dua orang mahasiswa.
Setelah mau memberikan kepada saya, Penasehat Badan Komunikasi Pemuda Remaja
Masjid Indonesia tahun 2002 itu pun berkata, “Sam, kamu pindah ke depan
aja, satu fotocopyan, untuk kamu dan mas hari.”
“Yang lain
kemana?,” kata Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Al Khoziny Sidoarjo tahun
1990 hingga 2009 itu. “Mungkin masih di jalan Prof,” kataku sambil malu-malu
kucing. Aku pun terkejut, hatiku merinding, bulu kulitku berdiri, ketika Pengisi
Mimbar Islam di TVRI Jatim itu berkata, “BAGAIMANA MUNGKIN KALIAN MEMILIKI ILMU
YANG BERMANFAAT, JIKA DOSENNYA DATANG LEBIH AWAL DARI MAHASISWANYA?.” Kalimat
singkat kata, namun padat makna itu pun selalu saya ingat.
“Ambil
tempat, sujud syukur, 100x, 150x,” kata Penasehat Forum Kerukunan Hidup Antar
Umat Beragama itu kepada teman-temanku. Namun kepada siapa saja beliau berkata,
entahlah, aku pun lupa, iya lupa, memang lupa. Aku pun serius lagi meneruskan
tulisan suasana di masjid tadi, walau sesekali saya lihat, siapa saja yang
diperintah sujud itu.
Beberapa
menit kemudian “Greg, grek grak, gruk,” bunyi suara aneh. “Suara apa itu?,”
bisik hatiku. Kepalaku pun bangkit dari menulis, ternyata langkah demi langkah
teman paling gemukku di kelas retorika, iya, iya, iya, dia Trisno. “Tris, sujud syukur dulu, baca subhanallah 200x, sebab saya tidak marah
sama kamu yang datang terlambat,” kata Pengurus Pembaca dan
Penghafal Al Qur’an Jatim tahun 1994 itu kepadanya. Ia pun ambil bagian paling
selatan dekat tembok, depannya meja dan kursi dosen, untuk sujud syukur.
“Tangannya, kalau sujud harus lurus Tris, jangan mengembang begitu,” nasihat
dari alumni Ponpes Ihyaul Ulum Gresik tahun 1975 itu. “Ia prof,” sahut Trisno
dengan wajah agak memerah, mungkin terkejut, atau mungkin, mungkin, dan
mungkin-mungkin yang lain. Hehehe.
Tak lama
kemudian, Irfan, ia begitulah nama panggilan akrabnya, mahasiswa kelas retorika
yang paling akhir datang juga. “Eeh sujud
syukur dulu, baca subhanallah 200x juga, bersyukurlah kepada Allah. Sebab saya
tidak marah sama kamu yang datang terlambat ini,” kata pendiri Kun Yaquta Foundation
itu dengan senyum. Si Irfan pun bingung, tolah-toleh, mungkin ia berkata dalam
hatinya, “mau sujud dimana aku ini?.” Pemuda asli Banyuwangi itu pun sujud di
belakang Trisno. Menit pun berjalan, beberapa teman sudah mulai bangkit dari
sujudnya, si irfan pun melirik, untuk segera selesai dan bangkit dari sujudnya
itu.
Penulis buku
“MTQ - Mengenal Tuntas Al-Qur’an” itu pun bertanya kepadaku, “Sam, apa
judul kamu tentang Tulisan ceramah kultum
ba’da dzuhur tadi di masjid tadi?.” “HATI MANUSIA YANG BAIK, prof
judulnya,” kataku dengan senyum. “Loh, itu bukan judul sam, itu berarti
kesimpulan, judul itu harus unik. Judul itu membuat orang tertarik untuk
membaca tulisanmu, lah kalau seperti
itu, orang tidak akan merasa tertarik membaca artikelmu,” nasehat Penulis
Buku “Teknik Khutbah Jum’at Komunikatif” kepada kita semua. Saya
pun langsung mengganti judul itu dengan yang lebih baik.
Tak terasa,
jam sudah menunjukan pukul 13.10 WIB. Penulis Buku “Solusi Ibadah di
Hongkong” yang diterbitkan Duta Masyarakat Surabaya tahun 2008 itu,
mulai menjelaskan isi dari fotocopyan yang dibagikannya tadi. Teman-teman pun
khusyuk mendengarkan. Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013 itu pun
menyuruh teman-teman secara bergiliran, untuk membaca setiap poin dari artikel
yang dibagikannya, sambil beliau menjelaskan.
20 menit
kemudian, Penceramah yang pergi ke Belanda tahun 2007 itu berkata, “Kalau
begitu, saatnya kalian sekarang menulis, langsung praktek, biar paham.”
“Tentang apa Prof?,” tanya salah seorang teman sekelasku. “Biar mudah, kalian
tulis saja suasana kuliah Teknik Khitobah II hari ini,” kata Dosen Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Surabaya itu. “Kalian tulis saja itu, tidak boleh ada coretan,
pokonya tulis saja sudah,” tambahnya diiringi dengan senyuman yang khas. “Ia
Prof,” sahut teman sekalas. Teman-teman mulai menulis, walaupun ada yang
tolah-toleh, saling bertanya dan lain-lain. Yang pasti, hari itu, kami sangat
senang menulis, ia kami sungguh senang menulis. Kita bangga mempunyai dosen
yang sangat peduli terhadap masa depan kita itu.
Jam pun
menunjukkan, 13.45 WIB. Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an itu pun
meminta teman-teman untuk berhenti menulis, “Sekarang berhenti dulu, baca
bergiliran.” Untuk mengetahui seperti apa hasil tulisan dari teman sekelas, Pengisi
Rubrik Agama Tabloid Nurani itu pun menyuruh untuk membaca hasil
tulisannya secara bergiliran. Semua kebagian, termasuk saya juga. Hehehe.
Pada kuliah
Teknik Khitabah II yang diisi denga
pelatihan penulisan peristiwa itu diisi dengan 4 segment penulisan, 3 segment
penulisan tentang kejadian dan suasana kuliah hari ini serta 1 segment terakhir
menceritakan tentang kondisi ketika masih sekolah di MI atau SD. Mantan
Mahasiswa tercepat dan termuda Fakultas Dakwah itu pun berpesan sebelum menutup
perkuliahan, “Kamu ini memang bisa, selama dipaksa untuk bisa. Seandainya kamu
dilatih menulis sejak kecil, kamu akan menjadi penulis hebat. Beberapa jam saja,
kamu ini bisa untuk menjadi penulis hebat.” Kami pun senang ketika mendengar
pesan bijaksana itu dari beliau. Kami sangat bangga. Agar ilmu yang didapatkan
bermanfaat, maka perkuliahan ditutup dengan membaca Surat al Ashr dan doa
Kafaratul Majlis secara bersama-sama.
SUNGGUH
BERSIUL DENGAN PENA.!!!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar