Senin, 13 April 2015

BERLARI DI TENGAH SAMUDRA (Kuliah Inspiratif Bersama Bapak N. Faqih Syarif, Spiritual Motivator Indonesia)



Oleh: Syam




Sumber Foto: Merdeka.Com

“Ting, ting, ting,” bunyi handphone Prof Ali Aziz. Bapak tujuh anak itu pun mengangkatnya yang berada di atas kursi di depannya. “Halo, iya-iya ustadz, lantai dua gedung A, kelas D1.211,” jawabnya pada telpon itu. Tak sampai lima menit, dosen yang sering bersepatu ala militer itu menyuruh saya untuk menjemput Bapak N. Faqih Syarif di tangga. Tanpa membuang waktu, saya pun langsung melangkahkan kaki untuk ke luar ruangan.
Saya mondar-mandir, tanya sana-sini. Dari mahasiswa, karyawan hingga dosen pun saya tanyai. “Maaf mas, saya tidak tau siapa pak Faqih itu” jawab salah satu dari mereka. Sebagian juga mengatakan, “Maaf mas, beliau tidak keliatan ini, kemana ya.” “ Mungkin di kantor dosen mas ya,” terang salah satu karyawan. “Adddduh, dimana beliau ini. Jangan-jangan beliau kesasar,” bisik hatiku.
Tak tau dimana keberadaanya, saya pun bingung. “Mungkin beliau sudah masuk ke kelas kalek ya” kata hati kecilku. Saya beranjak ke kelas. “Assalamualaikum” kataku sambil memasuki ruangan. “Waalaikum salam” kata semua yang ada di ruangan. Ternyata, dugaan saya benar. Pak faqih sudah di kelas. Teman-teman pun menertawakan saya. Sebab pak Faqih yang dicari, malah sudah datang. “Tapi tak apalah, ini takdir Allah untuk menguji keimanan seorang Syam dalam menungu seorang motivator sukses, pak N. Faqih Syarif, hehehe” bisik hatiku yang sambil senyum-senyum sendiri.
Ketika saya sudah memasuki ruangan, saya bingung harus duduk dimana. Saya mencari tas, tidak ketemu. “ada dimana tasku ya, wong tadi ada,” kataku kepada teman sekelasku. Ternyata ada salah seorang temanku yang menunjukkan tasku, dan baiknya, ia mengambilkan tas untukku, “Ini Sam, tasnya.” ‘Terima kasih ya,” Saya pun duduk di baris kedua paling utara dengan mengahadap ke timur.   
Beberapa menit berlalu, Prof Ali menyuruh kita untuk pindah duduk ke barisan pertama. Agar, kita mendengar suara yang jelas dan lebih semangat dari bapak Faqih. Tanpa banyak kata, kita pun pindah ke kursi di depan kita. Begitu juga dengan saya.
Ketika saya mengambil buku dalam tasku, tiba-tiba ada seorang pria yang datang dengan membawa tas hitam. Amir, begutulah saya memanggilnya. Ia masuk dan menuju ke arah paling utara dekat tembok. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia membuka tas, yang berisi laptop dan memberikan laptop itu kepada bapak faqih. Di luar dugaan kita, walau diganti laptop, LCD yang berada di atas atap itu tetaa saja tidak berfungsi.
Ketika teman baikku Hakim sedang menekan tombol proyektor yang berada di atas atap dengan kayu yang panjangnya sekita 2 meter, tidak bisa hidup. Maka saya berkata kepadanya, “Mas Hakim, mungkin protektornya rusak ya. Atau saya ambil saja proyektor di akademik.” “Oh iya cong, sampeyan ambil proyektor dan remot,” katanya dengan semangat yang membara.
Langkah-demi langkah, saya keluar ruangan, satu persatu-persatau, saya turunkan kaki melewati anak tangga. “Assalamualaikum” kataku kepada karyawan yang sedang melaksanakan tugasnya di ruang akademik. “Waalaikumsalam,” sontak mereka. Saya menghampiri wanita muda, yang duduk di paling barat, mengahadap ke utara, sambil mengetik tugas administrasi, “Maaf bu, saya mengganggu njenengan.” “Iya tidak apa-apa mas, ada apa ini?” tuturnya dengan senyum. “Saya mau pinjam proyektor untuk ruangan D1.211, sebab proyektor yang ada tidak bisa dioperasikan. Mungkin ada kerusakan,” kataku sambil membungkukkan bahu. “Ya saya ambillkan dulu mas,” ungkap wanita yang kira-kira berumur 40 tahunan itu.
Saya terkejut, bercampur keringat, ketika karyawan yang memakai warna hijau itu mengatakan, “Sampeyan bawa KTM mas.” “Tidak bu, saya lupa,” kataku dengan wajah memerah. “Kalau tidak bawa KTM, ya tidak boleh pinjam mas,” katanya dengan tegas. “Oh gitu ya bu, terima kasih bu,” ungkapku sambil mengucapkan salam dan keluar ruangan. Tanpa kusangka, ada suara yang memanggilku, “mas, mas, mas.” “Apa benar ada suara yang memanggil saya.” Lalu saya kembali ke ruangan yang berada di sebelah selatan tangga itu. Ternyata benar, ibu yang tidak mengijinkan saya untuk pinjam LCD itu. “Apa ibu yang memanggil saya tadi?,” Kataku dengan senyuman. “Ia mas, sampeyan bawa saja sudah. Emang mata kuliah siapa sekarang,” katanya dengan senyuman. “Sekarang mata kuliahnya Prof Ali,” jawabku. “oh gitu, ya udah sampeyan bawa dulu, kalau sudah segera dikembalikan.” Kata ibu tadi itu. “Terima kasih ibu, Assalamualaikum,” kataku, lalu ke luar ruangan yang ber-AC itu. “Waalaikumsalam,” kata sebagian yang ada di ruangan itu.
Sambil membawa tas, yang berisi LCD dan kabel. Tiba-tiba ada suara cowok yang menggelegar yang memanggil saya, “Sam.” Saya kaget dan mencari sumber suara itu, dari arah mana ia muncul. Eh ternyata suara itu keluar dari arah utara. Ternyata suara teman akrabku, Rahman, mahasiswa semester 6 prodi Manajemen Dakwah.  
Saya masuk kelas, dan memberikannya kepada Hakim, teman sekelasku yang suaranya keras itu. “Ini mas,” kataku. Saya pun langsung membantu mengelurkan LCD dan kabel dari tas yang berwarna hitam itu. Tanpa membuang waktu, saya ambil kabel dan saya masukkan colokannya ke tembok sebelah selatan dekat pintu timur. Saya ambil kursi di depanku dan saya hadapkan ke sebelah timur. Saya letakkan LCD di atas kursi tersebut.  Alhamdulillah, ternyata LCD sekarang sudah menyala. Dengan bergegas, pak Faqih menerangkan kepada kita tentang HIT. Penyampainnya lugas, mengena
 “Olga Syahputra, saya bingung, kenapa kok dia milih lagu hancur hatiku, hancur hatiku. Semakin ditayangkan ulang-ulang, persis ditahun 2013, Olga pas sakit itu. Hati-hati dengan omongan anda,” katanya dengan memegang spidol berwara biru.
 “Ada seorang profesor, maunya ngasik motivasi sama mahasiswanya,” jeda sebentar. Kemudian baliau lanjutkan, “Sambil membagikan soal ujian, dia ngomong sama mahasiswanya. Kalian semua harus serius, positif kan ya? Kalian semua harus serius, sambil dibagikan soalnya. Positif apa ndak? Tapi kalimat setelah itu yang membikin trauma, selama lima tahun terakhir ini. Tidak satu pun mahasiswa yang mengikuti mata kuliah saya, Luuuulus. Diulang-ulang. Apa yang terjadi? Lima tahun gak ada yang lulus. Apa lagi saya? Eh gak taunya setelah sepuluh menit. Mahasiswa yang datang terlambat. Saya tidak menyuruh untuk datang terlambat loh ya? Saya baca tadi rata-ratasujud sama syukur karena Prof Ali. Saya baca di tulisan kamu itu. Saya baca, dikira tidak dibaca. Saya terima email kamu itu menjelang setelah Shubuh ya? Sam ya. Ya ngirim. Saya sempat buka tadi,” ungkapnya sambil menggelengkan kepala.
“Dia datang setelah profesor itu ngomong. Sorry Prof, saya datang terlambat, ia silahkan. Yang lain ngerjakan kenak. Eh malah dia nyanyi-nyanyi. De, de, deeeeeee, deeeeee. “Hahahaha” kata mahasiswa. Semua tidak lulus, justru yang lulus siapa? Yang terlambat. Bukan berarti saya menyuruh terlambat. Karena ia ini tidak terkena oleh pikiran yang negatif.”
Menit pun berlalu, agar kelas tidak keliatan bosan. Beliau meminta mahasiswa, “Haloooo. Kalau saya bilang halo jawabannya hay ya? Kalau saya bilang hay, maka jawabannya adalah halo.”
“Haloooo?” Kata pak faqih kepada mahasiswa.
“Hay,” jawab mahasiswa dengan menggaung.
“Halo-halo,” katanya kedua kalinya.
“Hay-hay,” jawab mahasiswa dengan kompak.
Tapi apa yang terjadi, ketika pak Faqih mengulang-ulang kata-kata itu, bukan malah membuat mahasiswa semakin rapi menjawab, tapi malah semakin buyar. hahahaa
“Hay halo hay hay,” kata pak Faqih.
“Halo-(buyar),” jawab mahasiwa dengan buyar.
 “Selama empat tahun terakhir ini. Saya dikelilingi oleh teman . Untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri swasta di berbagai kota dan kabupten. Diminta untuk memberikan motivasi ujian nasional. Mereka-mereka yang tidak lulus ujian nasional, bukan-bukan mereka-mereka yang tidak bisa, tapi anak-anak ketika mengerjakan soal dia sudah nervous duluan. Maka saran saya kepada mereka, kerjakanlah soal itu, kerjakan yang paling mudah dulu. Anda baca. Kalau sulit, ditinggal dulu, kerjakan yang mudah. Setelah itu balik lagi. Anda bisa bayangkan mengerjakan matematika, ngerjakan soal yang sulit itu. Matek aku rek. Waktunya habis, dimatek-metak tadi itu kan?. Soalnya lima puluh, dua puluh kali matek. Makanya hati-hati dengan pikiran  negatif,” jelasnya kepada mahasiwa dengan senyuman yang khas.
Beliau pun duduk sebentar, kemudian berdiri, “Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, dimuliakan apa ndak?,” tanyanya kepada mahasiswa. “Dimuliakan pak,” sontak mahasiswa. “Sudah dimuliakan dimanja lagi. Dimasukkan Surga. Apa buktinya mulia? Apa buktinya ayo? Iyya. Malaikat disuruh apa?,” tambahnya.  
“Malaikat dan jin disiruh sujud,” jawab baiti, teman sekelasku yang sangat aktif. “Pertanyaan saya, setan mau apa ndak?, tanyanya lagi. “Tidak,” jawab mahasiswa dengan bersama-sama. “Kenapa ndak mau? Ia karena merasa dirinya lebih tinggi. Karena kesombongannya lah yang kemudian setan dikeluarkan dari surga. Sejak saat itulah setan itu dendam, dengki, dongkol lagi. Ingat tiga sifat itu. 3 D apa?,” jelasnya sambil menulis di papan.
“Seten itu memiliki sifat dendam, dengki, dongkol. Maka kalau ada manusia memiliki sifat dendam, dengki, dongkol, maka itu sifatnya setan. Pertanyaan saya. Ketika itu setan dendam, dengki, dongkol. Bahasanya jowone mangkel. Dan dia berjanji akan menggoda manusia. Dan dia berdoa sama Tuhan, sama Allah. Doanya dikabulkan apa tidak? Apa doanya? Ia doanya minta dikasik umur panjang. Apa artinya, setan saja berdoa dikabulkan oleh Allah. Maka jika ada manusia males berdoa, ngala-ngalai setan, ia kan? Loh setan aja berdoa dikabulkan,” jelasnya. Pernyataan beliau yang penuh makna itu pun membuat kita semangat untuk berdoa. Bahkan sebagian mahasiswa di kelas menggeleng-gelengkan kepala.
“Sejak saat itu setan menggoda manusia, dan setan itu tahu bangkan letak kekuatan manusia itu terletak di antara dua telinga. Apa?,” tanya pak Faqih. “Pikiran,” kata salah satu temanku, tapi saya lupa suara siapa itu.  
 “Ketika kita sering melakukan sesuatu, pasti terjadi pertarungan antara pikiran positif dan pikiran negatif,” ujarnya di duduk di kursi sambil menyentuh dagunya. “Anda hadir di saja loh pertarungan. Anda mau berangkat kuliah dengan kondisi hujan yang kayak gini. Malah ngomong, mudah-mudahan dosene gak teko,” sambil ketawa. “Hahaha,” tawa mahasiswa. “Sudah tetap di sini saja. Sudah duduk di majelis ilmu saja, setan gak terima, lalu diciptakan hawa ngantuk,” katanya dengan menunjuk-nunjuk tangannya sebagai bagian dari bahasa tubuhnya. “Halo,” sapa Pak faqih pada mahasiswa. “Hay,” jawab mahasiswa. “Ketika teman-temannya, ada yang ngantuk,” ungkapnya, sambil menirukan ekspresi orang ngantuk.
“ Hati-hati bisikan setan itu, dan bisikan setan itu ada dua. Ada dari golongan jin dan dari golongan manusia,” ungkapnya sambilng menghitung dengan dua jari. 
  “Bagaimana cara mengetahui itu bisikan setan atau bisikan malaikat?, ternyata Rasulullah sudah mengejarai. Saya tak terjemah bebas saja. Jika ada dalam pikiran kalian sesuatu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan dan menunda kebaikan, maka itu adalah bisikan setan. Ingat mendorong-dorong keburukan dan menunda-nunda kabaikan berarati bisikan setan,” terangnya dengan senyum manis. “Ada temannya yang lagi semangat datang, tepat waktu, kemudian dia rajin ke perpustakaan, kamudian ada yang bilang, rajine rekkkk,” tirunya dengan ketawa. “ini namanya bisikan setan, dan saya tidak mengatakan ini adalah setan loh ya?,” menoleh ke kanan.

“Ketika ada temannya seriusn nyatat. Ketika ada seminar dan training nyatat. Kuliah ae nyatat,” ungkap dengan menirukan ekspresi orang yang syirikan sama orang. Hehehehe.
“Setan seringkali senang kepada orang yang menggunakan kata “TAPI. Setelah kata tapi, pasti ada alasanan atau dalil,” ungkapanya dengan menulis.
   “Yang kedua adalah, “USIA. Bagi yang muda apa alasannya? Saya masih muda pak. Yang tua alasannya.” “Saya sudah tua kok,” celetuk mahasiswa. 
“Kalau dalil saya itu dipakek, namanya tidak ada bocah yang bernama Gevira Fatimah. Umurnya enam Tahun,” katanya dengan menunjukkan angka enam melalui tangannya. “Dia medapatkan rekor muri sebagai penulis termuda di Indonesia. 6 tahun, bayangkan. Putrinya KH Abdulah Gymnastyar,” terangnya. “Ya bisa aja pak, wong anak’e aa’ Gym, repot juga kalau orang bilang gitu, Jangan melihat anaknya siapa. Iniloh, melihat si kecil ini.” “Kalau dalil saya ini dipakek, maka tidak akan ada orang yang hafal Qur’an pada umur 9 tahun. Dia mendapatkan gelar doktor honouris causa termuda di dunia. Pernah dengar namanya Sayyid Husain Taba’tabai dari Iran. Pakai alasan usiaa?” “Tidak,” jawab mahasiswa.
“Kalau dalil saya dipakai. Maka saya tidak akan mempunyai seroang teman, yang kiai dari Magetan. Kawan saya di S3, doktoral. Kalau laptopnya rusak, dia benggung. Usinya udah 63 tahun. Kakek-kakek, kiai. Pakai alasan usia?,” jelasnya dengan wajah serius tapi santai. Eh serius tapi santai. Apa bedanya ya. hehehehe
“Kalau saya di pakek, maka tidak akan ada KFC. Kakek tua itu. Dia mempunyai hobby masak. Dan masakanya ditawari. 1008,” jelasnya kepada mahasiswa. Mahasiswa di kelas pun bertanya satu sama lain, seperti siapa kakek tua itu, yang tak pernah mengenal putus asa itu. Ada yang mengetahui kakek tua itu, dan ada pula yang belum bisa menjawab. Mungkin karena gak pernah makan di KFC kalek ya. Iiiiih kasihan delloh.
“Ada lima hal, yang menghambat kita untuk meraih sukses. Satu pikiran negatif, dua pakai alasan usia. Tiga ke se ha tan.  Kalau dalil saya dipakek, maka Indonesia tidak akan pernah mempunyai presiden Gusdur,” ujarnya dengan duduk dan sambil melirik ke Prof Ali. “Kalau dalil saya dipakek, maka Indonesia tidak akan pernah mempunyai orang terkenal seperti pepeng. Dia sekrang mengalami sakit, sel-sel saraf di tulang belangkangnya. Dia tidak apa-apa kecuali berbaring. Apa kata pepeng, saya merasakan cinta kasih Allah, ketika seya merasakan sakit seperti ini. Tidak boleh berhenti berkarya,” tambahnya. Mahasiswa yang ada di kelas diam sejuta kata. Hanya mengangguk-nganggukkan kepala semata. Tapi tidak tau, kita paham atau malah mengantuk, berlayar ke pulau kapuk. hehehehe
“Yang ke empat adalah pakai alasan latar belakang pendidikan. Saya gak mungkin sukses pak. Saya kan hanya s3, SD, SMP, SMA. Kalau pakai alasan usia, saya tidak akan pernah mempunyai guru, motivator terbaik Indoensia. Yang namanya ANDRI WONGSO. Gelarnya itu aneh. ANDRI WONGSO, SD.TT.TBS. Gelar ini tidak pernah dikeluarkan oleh perguruan tinggi negeri maupun swasta di dunia. Gelar ini saya dapatkan dari univesiats kehidupan.  SD.TT.TBS, Sekolah Dasar Tidak Taman, Ternata Bisa Sukses,” sambil memandang wajah mahasiswa satu persatu.
“Yang kelima. Nasib. Ya nasib-nasib. Percaya sama sulul, zodiak. Dan lain sebaginya itu,” ungkapnya dengan sedikit santai. Setelah selesai menjelaskan penjara kemalasan ini, beliau berpesan, “Kalau anda bisa menghancurkan 5 gembok ini. Anda menang. Anda di sini saja, kalau pikiran tidak tenang, maka pelajaran tidak akan masuk.”
Diujung perkuliahan bersama Pak Faqih, beliau menawarkan kepada kita, “Apa masih ada pertanyaan?,” tanyanya dengan suara yang mendebarkan. “Ada pak, saya mau tanya,” kata salah seorangtemanku. “Silahkan mas,” ungkap pak faqih kepada nya. “Saya mau tanya pak, saya ini kan alumni Sekolah Perkapalan. Lalu saya kuliah di UIN SA ini. Saya merasa bahwa, saya hanya memiliki ilmu keislaman yang sedikit. Saya selalu berfikir begitu. Sedangkan teman-teman saya banyak yang alumni pesantren. Saya minder pak. Bagaimana ini pak“ Kata hakim.
“Kalau anda kuliah di UIN, berarti anda sudah meilki IQ yang noraml. Kalau IQ 90-100, itu namanya suah normal. Anda masuk kuliah ini, berarti anda sudah normal. Ingat, kecerdasan itu tidak hanya kecerdasan intelektual. Berarti anda sudah berpikir negatif, jangan berpikir negatif jika ingin menjadi orang yang sukses. Berpikir negatif merupkan penjara mental yang harus kamu hindari. Tak perlu minder lah. Hidup kan masih belajar.  Harus banyak belajar tentang kehidupan ini,” jelasnya kepada kita.
Sekiat 5 menit kemudia, “Mohon maaf pak, saya mau tanya. Saya memiliki buku karya bapak, mengapa kok covernya itu terbalik apa. Di satu sisi benar, di satu sisi kok kebalik, apa makna filosofisnya itu pak,“ tanyaku kepada alumni Fakultas Dakwah itu. “Iya saya jawab,” katanya sambil menatap mata saya dengan penuh kemesraan. “Itu hanya kreativitas saja. Itu kan dua buku tapi dijadikan satu buku. Beli satu buku, dapet dua buku. Kamudian saya satukan. Namun rupanya penerbit tidak memahami apa yang saya maksudkan,” tambahnya dengan wajah ceria.
“Ini loh buku itu yang dicetak ulang, oleh penerbit Rosdakarya semearang, ini bagus sekarang cetakannya sam,” katanya dengan menunjukkan bukunya kepada kita semua. Kita hanya diam seribu bahasa yang diiringi dengan mengangngukan kepala saja, sebagai tanda kekaguman yang mendalam.
Tepat jam 13.25 WIB, Pak Faqih pamit kepada kita meninggalkan kelas, untuk beranjak ke Bromo, Probolinggo City (kotaku yang sangat indah, dimana saya bersala) untuk memberikan trainer disana. Sebelum keluar ia, berpesan kepada kita, “setiap Jum’at pagi ada, teman-teman bisa silaturrahim ke ruamah saya, untuk, nanti kuliah di sana dah. Yang penting kalian selalu semangat saja.”
Salam Sejuta Kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar