Senin, 06 April 2015

BERSIUL DENGAN PENA (Catatan Inspiratif Kuliah Teknik Khitabah II tanggal 31 Maret 2015)






Oleh: Syam

“Panasanya terik matahari, banyaknya peralatan berat di UINSA, tak boleh menjadi penyebab bagiku untuk datang terlambat,” begitulah kata suara hatiku. Tangga demi tangga, langkah demi langkah menuju ruangan ber-AC, lantai 2 gedung A Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
“Prof, ada salam dari Pak Sentot Imam Wahyono,” kata saya pada Prof Ali Aziz. “Pak Sentot siapa ya Sam?,” tanya Mantan Dekan FDK UINSA itu. “Beliau dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya. Juga Menjadi Pengajar di Salah satu Universitas Islam di Malaysia Prof,” kataku sambil menuju ke Kelas. Dosen yang membawa Absensi mahasiswa itu pun berkata,”Saya lupa Sam.”
“Menariknya, artikel saya di blogspot dikomentari beliau Prof,” kataku sambil duduk di lapis kedua. “Masa sih Sam?,” jawabnya menggeleng-gelengkan kepala dengan diiringi senyuman manis. “Sebelumnya saya sudah kenal sama beliau Prof, di Konferensi Internasional Keislaman, antara Indonesia-Malaysia di Surabaya, beberapa waktu kemudian, saya inboxan dengan beliau” kataku sedang mengambil buku Ilmu Pidato dalam tas. “Saya lupa Sam, coba hidupkanan lampu Sam, kok gelap ini,” saran Penulis Buku Best Seller 60 Menit Terapi Shalat Bahagia itu. “Semua orang pasti memiliki sifat lupa Prof, hanya Allah lah, Tuhan yang tak pernah lupa,” bisik hatiku dengan tenang, lalu saya sambil menghidupkan lampu.
Beberapa menit kemudian, bapak tujuh anak itu pun bertanya, “Sudah tau Mas Hari, mahasiswa Ushuluddin ini sam?.” “Sudah Prof,” jawabku dengan senyum manis. “Masa sih Sam?,” tambah dosen yang sering bersepatu ala militer itu. “Dulu, tahun 2012, saya pernah ke Temboro Prof,” ceritaku sambil melirik pada mas Hari. Konsultan Yayasan Pendidikan dan Sosial Khodijah itu pun bertanya kembali, “Diajak pak Khozin, perpustakaan itu tah?.” “Tidak, diajak mas Hari Langsung Prof,” jawabku dengan memegang kacamata. “Oh gitu ya Sam? Ya sudah, saya pinjem bolpoinmu,” kata pria kelahiran Lamongan itu. Saya langsung mengambil bolpoin dan menyerahkannya kepada Pemilik Rumah Jalan Siwalankerto Tengah no. 66 Surabaya itu. “Ini Prof,” kataku sambil membungkukkan bahu, sebagai tanda menghormatinya.
10 Menit berlalu, ada mahasiswi yang memasuki ruangan dengan senyum manis, “Assalamualaikum,” katanya dengan wajah ceria. “Waalaikumsalam,” sontak kita yang berada di ruangan ber-AC. Mahabbah, begitulah panggilan akrabnya. Sebelum ia duduk, da’i internasional pun bertanya kepadanya, “Sudah sehat mahabbah?.” Wanita yang baru sembuh dari sakit itu pun menjawab, “Alhamdulillah sampun Prof.” “Ya alhamdulillah, pokoknya harus tetap semangat,” kata pengurus Dewan Syariah Yayasan Nurul Hayat.
Pada awalnya yang berada di kelas hanya tiga orang, Saya, mas Hari dan mbak Mahabbah. Penulis Buku “Ilmu Dakwah” itu pun bertanya, “Apa kalian tadi shalat jamaah dzuhur di masjid?.” “Ia Prof,” sahutku dengan tegas. “Berarti kalian mendengarkan ceramah ea?.” “Benar Prof,” kataku sambil tanda tangan di Absensi mahasiswa. “Kalau begitu kalian sekarang, ceritakan apa yang disampaikan oleh penceramah tadi. Tidak hanya itu, ceritakan juga suasana pada waktu itu,” kata Trainer PTSB itu. “Ia prof,” sahut kita. Beberapa menit berlalu, saya pun kaget, “Saya harus menulis apa ini, kok tiba-tiba pikiran saya blank seperti ini ya? Tapi saya harus bisa ini. Kalau orang lain bisa, mengapa saya tidak bisa ya.”
Tak terasa, jam sudah menunjukkan 12.25 WIB. Mahasiswa yang bertubuh tinggi di kelas retorika datang. “Assalamualaikum,” katanya dengan penuh semangat. “Waalamulaikum salam,” jawab kita di ruangan. Ia pun duduk di sebelah kiriku. Mahasiswa yang biasa dipanggil dengan sebutan “Hakim” itu bertanya kepadaku, “Disuruh buat apa sama epprof cong?.” “Beliau nyuruh kita untuk menceritakan apa yang disampaikan oleh penceramah pada ceramah kultum ba’da dzuhur tadi di masjid, begitu juga kita ceritakan bagaimana suasana tersebut, sampeyan tadi jamaah di masjid ea cong?,” kataku dengan senyuman. “Ia ecconng,” katanya dengan logat khas Madura. Pemuda yang memiliki suara keras itu pun langsung mengambil buku dan bolpoin untuk menceritakan apa yang penceramah sampaikan dan apa saja yang terjadi di masjid tadi.
Saya pun sibuk menulis apa yang terjadi di masjid tadi. Kata demi kata, kalimat demi kelimat, tak membuatku bosan untuk menulis. Tiba-tiba, Ketua Yayasan Pendidikan dan Sosial Kyai Ibrahim Surabaya itu menghampiri Mahabbah, temanku yang baru saja sembuh dari sakit itu, “Mahabbah, kamu tadi shalat di masjid ya?.” “Njeh Prof,” katanya dengan tersedu-sedu. “Ea sudah, kamu nulis saja sudah,” kata Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris itu kepadanya.
Menit pun berlalu, “Assalamualikum,” kata Farid. “Waalaikumsalam, eeeh jangan duduk dulu, sujud syukur dulu, baca subhanallah 100x, sebab saya tidak marah sama kamu yang datang terlambat,” kata Dosen Teladan Nasional tahun 2004 dan 2007 itu.  Pemuda berkaca mata itu pun langsung meletakkankan tasnya dan bersujud mengahadap ke kiblat.
Tak lama kemudian, Azka, mahasiswi bersepatu hijau itu datang juga. Ia pun mendapatkan perintah sama seperti si Farid tadi. Ia pun dengan segera bersujud syukur mengambil tempat di sebelah tengah. Beberapa menit berlalu, ia pun selesai dan mencari kursi untuk duduk. “Silahkan duduk, Az mana fotocopyan tadi? Bagikan satu lembar untuk dua mahasiswa,” kata Ketua Dewan Pengawas Syariah Bank Jatim tahun 2011 sampai sekarang itu. Wanita murah senyum itu pun langsung memberikan semua fotocopyan kepada Asesor Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi itu. Dengan santai, saksi Ahli Mahkamah Konstitusi tentang UU Penodaan Agama yang murah senyum itu, memberikan satu fotocopyan kepada dua orang mahasiswa. Setelah mau memberikan kepada saya, Penasehat Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia  tahun 2002 itu pun berkata, “Sam, kamu pindah ke depan aja, satu fotocopyan, untuk kamu dan mas hari.”
“Yang lain kemana?,” kata Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Al Khoziny Sidoarjo tahun 1990 hingga 2009 itu. “Mungkin masih di jalan Prof,” kataku sambil malu-malu kucing. Aku pun terkejut, hatiku merinding, bulu kulitku berdiri, ketika Pengisi Mimbar Islam di TVRI Jatim itu berkata, “BAGAIMANA MUNGKIN KALIAN MEMILIKI ILMU YANG BERMANFAAT, JIKA DOSENNYA DATANG LEBIH AWAL DARI MAHASISWANYA?.” Kalimat singkat kata, namun padat makna itu pun selalu saya ingat.
“Ambil tempat, sujud syukur, 100x, 150x,” kata Penasehat Forum Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama itu kepada teman-temanku. Namun kepada siapa saja beliau berkata, entahlah, aku pun lupa, iya lupa, memang lupa. Aku pun serius lagi meneruskan tulisan suasana di masjid tadi, walau sesekali saya lihat, siapa saja yang diperintah sujud itu.
Beberapa menit kemudian “Greg, grek grak, gruk,” bunyi suara aneh. “Suara apa itu?,” bisik hatiku. Kepalaku pun bangkit dari menulis, ternyata langkah demi langkah teman paling gemukku di kelas retorika, iya, iya, iya, dia Trisno. “Tris, sujud syukur dulu, baca subhanallah 200x, sebab saya tidak marah sama kamu yang datang terlambat,” kata Pengurus Pembaca dan Penghafal Al Qur’an Jatim tahun 1994 itu kepadanya. Ia pun ambil bagian paling selatan dekat tembok, depannya meja dan kursi dosen, untuk sujud syukur. “Tangannya, kalau sujud harus lurus Tris, jangan mengembang begitu,” nasihat dari alumni Ponpes Ihyaul Ulum Gresik tahun 1975 itu. “Ia prof,” sahut Trisno dengan wajah agak memerah, mungkin terkejut, atau mungkin, mungkin, dan mungkin-mungkin yang lain. Hehehe.
Tak lama kemudian, Irfan, ia begitulah nama panggilan akrabnya, mahasiswa kelas retorika yang paling akhir datang juga. “Eeh sujud syukur dulu, baca subhanallah 200x juga, bersyukurlah kepada Allah. Sebab saya tidak marah sama kamu yang datang terlambat ini,” kata pendiri Kun Yaquta Foundation itu dengan senyum. Si Irfan pun bingung, tolah-toleh, mungkin ia berkata dalam hatinya, “mau sujud dimana aku ini?.” Pemuda asli Banyuwangi itu pun sujud di belakang Trisno. Menit pun berjalan, beberapa teman sudah mulai bangkit dari sujudnya, si irfan pun melirik, untuk segera selesai dan bangkit dari sujudnya itu.
Penulis buku “MTQ - Mengenal Tuntas Al-Qur’an” itu pun bertanya kepadaku, “Sam, apa judul kamu tentang Tulisan ceramah kultum ba’da dzuhur tadi di masjid tadi?.” “HATI MANUSIA YANG BAIK, prof judulnya,” kataku dengan senyum. “Loh, itu bukan judul sam, itu berarti kesimpulan, judul itu harus unik. Judul itu membuat orang tertarik untuk membaca tulisanmu, lah kalau seperti  itu, orang tidak akan merasa tertarik membaca artikelmu,” nasehat Penulis Buku “Teknik Khutbah Jum’at Komunikatif” kepada kita semua. Saya pun langsung mengganti judul itu dengan yang lebih baik.
Tak terasa, jam sudah menunjukan pukul 13.10 WIB. Penulis Buku “Solusi Ibadah di Hongkong” yang diterbitkan Duta Masyarakat Surabaya tahun 2008 itu, mulai menjelaskan isi dari fotocopyan yang dibagikannya tadi. Teman-teman pun khusyuk mendengarkan. Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013 itu pun menyuruh teman-teman secara bergiliran, untuk membaca setiap poin dari artikel yang dibagikannya, sambil beliau menjelaskan.
20 menit kemudian, Penceramah yang pergi ke Belanda tahun 2007 itu berkata, “Kalau begitu, saatnya kalian sekarang menulis, langsung praktek, biar paham.” “Tentang apa Prof?,” tanya salah seorang teman sekelasku. “Biar mudah, kalian tulis saja suasana kuliah Teknik Khitobah II hari ini,” kata Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya itu. “Kalian tulis saja itu, tidak boleh ada coretan, pokonya tulis saja sudah,” tambahnya diiringi dengan senyuman yang khas. “Ia Prof,” sahut teman sekalas. Teman-teman mulai menulis, walaupun ada yang tolah-toleh, saling bertanya dan lain-lain. Yang pasti, hari itu, kami sangat senang menulis, ia kami sungguh senang menulis. Kita bangga mempunyai dosen yang sangat peduli terhadap masa depan kita itu.
Jam pun menunjukkan, 13.45 WIB. Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an itu pun meminta teman-teman untuk berhenti menulis, “Sekarang berhenti dulu, baca bergiliran.” Untuk mengetahui seperti apa hasil tulisan dari teman sekelas, Pengisi Rubrik Agama Tabloid Nurani itu pun menyuruh untuk membaca hasil tulisannya secara bergiliran. Semua kebagian, termasuk saya juga. Hehehe.
Pada kuliah Teknik Khitabah II  yang diisi denga pelatihan penulisan peristiwa itu diisi dengan 4 segment penulisan, 3 segment penulisan tentang kejadian dan suasana kuliah hari ini serta 1 segment terakhir menceritakan tentang kondisi ketika masih sekolah di MI atau SD. Mantan Mahasiswa tercepat dan termuda Fakultas Dakwah itu pun berpesan sebelum menutup perkuliahan, “Kamu ini memang bisa, selama dipaksa untuk bisa. Seandainya kamu dilatih menulis sejak kecil, kamu akan menjadi penulis hebat. Beberapa jam saja, kamu ini bisa untuk menjadi penulis hebat.” Kami pun senang ketika mendengar pesan bijaksana itu dari beliau. Kami sangat bangga. Agar ilmu yang didapatkan bermanfaat, maka perkuliahan ditutup dengan membaca Surat al Ashr dan doa Kafaratul Majlis secara bersama-sama. 
SUNGGUH BERSIUL DENGAN PENA.!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar